Tari Gambyong
Rabu, 23 November 2011
Ciri khas kultur budaya Jawa
adalah kuatnya sistem hirarki. Dalam soal bahasa misalnya banyak
dijumpai mekanisme linguistik yang dikonstruk untuk stratifikasi sosial
tertentu.Begitu juga denga tari. Tidak semua tari di Jawa mencerminkan
egalitarianisme. Ada tari yang khusus untuk kalangan bangsawan dan
kerajaan dan ada pula tari yang khsusus untuk rakyat kecil. Hal ini
karena terdesign dari mainstream
budaya Jawa yang terbagi ke dalam dua struktur mayor yaitu kebudayaan
besar atau kebudayaan tinggi dan budaya kecil atau kebudayaan rendah.
Masing-masing struktur budaya ini merefleksikan background sosio-kultural masing-masing. Budaya besar ini merepresentasikan masyarakat elit yang berada di kuil-kuil dan istana-istana, sementara budaya kecil hidup dan berkembang dalam kawuloalit yang
berada di pinggiran dan pedesaan. Meminjam istilah Robert Reidfield
bahwa kebudayaan besar merupakan pola kebudayaan dari peradaban kota,
sementara kebudayaan kecil adalah pola kebudayaan rendah atau pedesaan.
Karena berangkat dari
komunitas masyarakat yang berbeda, maka kedua kebudayaan Jawa di atas
secara otomatis juga mempunyai ciri yang beda bahkan kontras. Termasuk
tari, keduanya mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Untuk tari yang
masuk dalam kamus masyarakat elit perkotaan dan istana lebih menonjolkan
sifat-sifat nilai alus (halus, lembut), regu (pendiam), anteng (tenang) dan jatmika (selalu sopan). Jenis tari-tari yang masuk ke dalam kategori ini seperti tari bedhaya, srimpi dan beksan.
Ini berbeda dengan tari-tari yang masuk dalam daftar kebudayaan
pinggiran atau masyarakat desa. Tari-tari jenis ini dicirikan dengan
sifatnya yang kasar, brangasan, energik, yang semua itu mencerminkan
karakter atau watak masyarakat kecil.
Tari gambyong adalah tari
yang muncul di ranah pinggiran masyarakat Jawa tetapi istimewanya ia
mampu menembus wilayah sentral kerajaan Jawa. Ia merupakan produk
kebudayaan wong cilik
yang diangkat menjadi kebudayaannya para bangsawan Jawa. Sehingga tari
Ganbyong, yang awal mulanya berstatus sebagai tradisi kecil, maka pada
perkembangannya menjadi bagian tradisi besar.
Seluk beluk tari gambyong
ini secara mendalam bisa kita telurusuri dalam bukunya Sri Rochana
Widyastutieningrum (2004) yang berjudul Sejarah Tari Gambyong. Dalam buku itu Sri Rochana mengemukakan bahwa tari gambyong mulai digunakan dalam Serat Centhini yang ditulis pada abad XVVIII. Akan tetapi diperkirakan tari gambyong ini merupakan perkembangan tari tledhek atau tayub. Inilah yang menunjukkan bahwa tari Gambyong adalah tari yang lahir dari rahim masyarakat pinggiran. Karena tayub atau ledhek adalah cermin kebudayaan masyarakat bawah.
Tari tayub sendiri, dalam SeratSastramirada disebutkan telah dikenal sejak zaman kerajaan Jenggala (sekitar abad ke XII), sedangkan tari tledhek dikenal sejak zaman Demak (abad XV), yang disebut dengan tledhek mengamen, yang dipertunjukkan dengan iringan rebana dan kendang sastra di awali dengan vocal.
Istilah Gambyong diambil dari nama seorang penari tledhek.
Penari yang bernama Gambyong ini hidup ini pada zaman susuhunan Paku
Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Lebih jauh menurut Sudibyo ZH, bahwa
tentang adanya penari ledhek
yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan
kemerduan dalam suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Masa perkembangan
Tari Gambyong mulai
berkembang di era susuhunan paku Buwana IX (1861-1893) atas jasa K.R.M.T
Wreksadiningrat. Tari tersebut diperkenalkan kepada umum dan ditarikan
oleh seorang Waranggana (pesindhen). Karena
sudah beralih ke struktur masyarakat bangsawan, maka tari ini mengalami
modifikasi yang membedakan dengan bentuknya yang semula. Gerak-gerik
tari ini yang awalnya begitu kasar mulai diperhalus. Hal ini terjadi,
khususnya, ketika tari Gambyong muncul sebagai Tari gambyong pareano yang diciptakan oleh Ny Bei Montoraras pada tahun 1950. Sejak ini, tari gambyong mengalami perubahan yang drastis seperti susunan tari, iringan tari, rias dan busananya.
Selain bentuknya yang berubah fungsinya juga mulai berubah. Pada saat bertransformasi menjadi Pareanom
ini, tari gambyong yang awalnya hanya difungsikan untuk hiburan atau
tontonan, maka kemudian beralih fungsi menjadi tari untuk menyambut
tamu-tamu besar. Tari Gambyong sering ditampilkan di Mangkunegaran pada
zaman penjajahan Jepang, untuk menjamu para tentara Jepang yang datang
di mangkunegaran.
Dalam perkembangan
selanjutnya, tari gambyong ini juga mampu merangsang lahirnya
bentukbentuk baru tari Gambyong yang lain, yang dikonstruksi oleh
penyusun tari yang berbeda-beda. Seperti ada tari gambyong Pangkur yang disusun oleh Soemardjo Hardjoprasanto pada tahun 1962, kemudian tari gambyong Gambirsawit yang disusun oleh S.Ngaliman pada tahun 1970, tari gambyong, dan tari gambyong Pancerana pada tahun 1981.
Selain susunan gerak dan
fungsinya, perkembangan tari gambyong juga terdapat pada intensifn
kegiatan masyarakat yang menampilkan tari gambyong seperti pada acara
perayaan, resepsi pernikahan, pembukaan, peresmian, penajmauan tamu dan
pada kegiatan lomba dan festival. Perkembangan ini juga ditandai dengan
membengkaknya jumlah penari, karena seringkali tari Gambyong ditampilkan
secara massal.
Hal yang menyebabkan tari
gambyong bisa berkembang pesat dan diminati oleh masyarakat luas di
antaranya adalah bentuk estetis tari ini yang menarik. Ia mengandung
unsur-insur ketrampilan, keluwesan, kekenesan dan kelincahan seorang
wanita. Geraknya lincah dan cenderung erotis. Nilai estetis ini terdapat
pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya
antara gerak dan irama kendang. Estetisme tari Gambyong akan muncul
apabila penarinya menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan sempurna,
sehingga melahoirkan gerak tari yang sensual dan erotis. Untuk mencapai
ungkapan itu, maka dibutuhkan para penari yang memenuhi satndar jogged Mataram
dan Hasta Swanda. Dengan demikian diduga kuat, ungkapan erotis-sensual
Tari Gambyong inilah yang menjadi daya tarik di masyarakat Jawa sehingga
mudah berekembang. Selain itu juga dipengaruhi oleh sifat-sifatnya yang
njawani, fleksibel dan kondisional.
Kalau ditilik lagi pada awal
mula kelahirannya yang berasal dari tari tayub atau tari teledhek,
sebenarnya hampir sama dengan tari ronggeng, lengger atau kethuk tilu, yang katanya untuk pembangkit birahi dan terkesan erotis (Edi Sedyawati:1984).
Atau mungkin, kalau untuk sekarang, dengan membandingkan gerak
energiknya dan kevulgaran sisi erotica dan seksualita, tari gambyong ini
hampir sama dengan goyang ngebor.
Simbol luruhnya otoritarianisme budaya
Secara umum tari Gambyong
ini merupakan simbol sirnanya hirarkhi budaya. Dengan ini kita tahu
bahwa yang namanya estetika ternyata tidak bisa dikotak-kotak,
dikapling-kapling apalagi dibag-bagi dalam tingkatan struktur kekuasaan.
Spirit estetika itu boleh saja lahir di wilayah feriveral, namun ia
akan melambung dan menerobos wilayah sentral. Dengan demikian
otoritarianisme budaya itu sebenarnya sesuatu yang ahistoris. Kalaupun
diakui ada, itu hanyalah bentuk formalisme atau institusionalismenya.
Sementara budaya sendiri yang lebih mendasarkan diri pada estetika,
etika dan logika tidak akan pernah bisa dipagari secara ketat.
Dalam ruh estetika ini akhirnya menjadi tidak jelas mana batas-batas budayanya wong cilik
dan mana budayanya orang ningrat, mana tradisi keraton mana tradisi
pinggiran, mana khasanah raja mana khasanah rakyat dan seterusnya. Toh
ternyata perasaan para bangsawan juga tidak bisa dibohongi kalau merek
juga tertarik dengan tradisi masyarakat pinggiran. Para raja-raja dan
kaum bangsawan yang dalam konteks stratifikasi sosial lebih mendaulatkan
diri sebagai atasan yang lebih tinggi dari masyarakat awam, akhirnya
juga tunduk di bawah keluwesan gerak dan sentuhan erotica, seksualita
maupun sensualita Gambyong. Ini artinya substansi budaya dalam ranah
logis, estetis dan etis adalah bersifat universal, dialogis dan saling
mempengaruhi. Sungguh nonsense
sebuah budaya atau peradaban, seratus persen, bisa berdiri secara
netral dan otonom. Maka kalau ada segolongan masyarakat elit atau
golongan lain yang masih kukuh dan konserfativ memegang teguh budaya
feodalisme aristokratismenya maupun lokalismenya secara membabi buta,
sehingga mudah membuat jurang narsisme siapa gue dan siapa elo, itu cermin masyarakat yang tak beradab dan tak berbudaya.
Tari Gambyong
Reviewed by Listya Marthantikha's Blog
on Rabu, 23 November 2011
Rating:
Share on: Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar